Dugaan Pungli Berkedok Sumbangan: Kesaktian Kepsek SMAN 9 Kota Jambi dan Kamus Ajaibnya
Jambi, 12 Mei 2025 – Di sebuah ruang kepala sekolah yang beraroma kopi sachet dan map-map kusam, terjadi perdebatan hangat namun membingungkan antara seorang wartawan dan kepala sekolah. Topiknya: uang komite yang diduga kuat berbau pungli, tapi oleh sang kepala sekolah, dianggap sebagai “sumbangan suka rela bersyarat”.
Wartawan memulai dengan sopan, menyinggung Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 75 Tahun 2016 (bukan 79 seperti yang sempat disebut), yang menegaskan bahwa komite sekolah tidak boleh memungut dana dari orang tua secara wajib. Tapi sang kepala sekolah, dengan penuh percaya diri dan sedikit nada tersinggung, menjawab:
“Siapo yang bilang pungli buk? Yang dak boleh itu punggutan, bukan sumbangan. Kami dak menetapkan jumlah, cuma… memang 45 itu setandar minimal yang dipegang orang tua.”
Ah, standar minimal. Sebuah istilah yang hanya ada di negeri penuh kreativitas ini, di mana “sumbangan” bisa memiliki tarif dasar seperti kamar hotel. Ironisnya, kepala sekolah juga mengakui bahwa ada yang tidak menyumbang sama sekali, karena “kondisi lemah”. Sayangnya, kesaksian warga menyebutkan adanya orang-orang yang datang ke rumah dan “menetapkan” jumlah uang, bukan menawarkannya secara sukarela.
Wartawan tak tinggal diam. Ia memaparkan isi dari Stranas PK (Strategi Nasional Pencegahan Korupsi)yang terang-terangan menyebut uang komite termasuk dalam jenis pungli jika dipaksakan, ditentukan jumlahnya, dan disertai tekanan sosial atau administrasi.
Namun sang kepala sekolah terus bertahan pada kamus versinya sendiri, di mana pungli hanyalah jika ada ancaman langsung, bukan sekadar “standar minimal”. Ia mungkin lupa bahwa tekanan sosial dan ketidakberanian orang tua menolak juga merupakan bentuk pemaksaan terselubung—atau mungkin itu memang sudah jadi SOP diam-diam dalam sistem pendidikan kita.
Dalam narasi pendidikan ideal, sekolah adalah rumah kedua bagi anak-anak. Tapi ketika rumah itu mulai membebani orang tua dengan “sumbangan yang disepakati sepihak”, siapa yang sedang dididik sebenarnya? Anak-anak, atau kantong masyarakat?
Dengan gaya berkelit dan logika lentur ala karet, kepala sekolah ini mungkin layak diundang sebagai dosen tamu di kelas Etika Publik dan Cara Membungkus Pungli Jadi Sumbangan. Sementara itu, para wartawan terus mencatat, berharap logika waras tak dikalahkan oleh “standar minimal” dalam sumbangan yang konon tidak ditetapkan.
Di negeri ini, pungli seringkali bukan soal hukum, tapi soal siapa yang lebih pintar memutar kata. Sumbangan? Pungutan? Atau pungli yang dibungkus kerelaan? Hanya kamus kepala sekolah yang tahu jawabannya.