Dikutip dari laman media www.keizalinNews.web.id –
Jambi – Kasus yang menimpa “Suryanto” (nama samaran), seorang siswa kelas XI di SMA Negeri 3 Kota Jambi, menjadi sorotan serius publik. Meski tergolong pintar, Suryanto tidak mendapat haknya sebagai peserta didik untuk memperbaiki absensinya yang tercatat sebagai alfa. Yang lebih mencengangkan, pihak sekolah mengambil keputusan sepihak untuk menjadikan Suryanto tinggal kelas, tanpa melalui prosedur pembinaan atau komunikasi yang seharusnya dilakukan.
Suryanto berasal dari keluarga yang tidak mampu. Ia kerap tidak masuk sekolah, bukan karena kenakalan atau pelanggaran berat, melainkan karena mengalami perundungan (bullying) dari teman-temannya. Penyebabnya? Ia tidak mampu membayar sejumlah pungutan liar (pungli) yang ditengarai marak terjadi di sekolah tersebut.
Beberapa pungutan yang dibebankan kepada siswa antara lain:
• Pembelian AC untuk ruang kelas: Rp200.000/siswa
• Pungutan Komite: Rp50.000 – Rp290.000 per bulan
• Uang ulang tahun sekolah, uang kas lokal, dan pungutan tidak resmi lainnya
Karena tidak sanggup membayar, Suryanto menjadi korban perundungan, mengalami tekanan mental, hingga takut dan enggan hadir ke sekolah. Sayangnya, tidak ada satupun upaya dari pihak sekolah untuk mencari tahu penyebab ketidakhadiran Suryanto.
Sesuai ketentuan dan etika pendidikan, setiap siswa berhak mendapat pembinaan. Namun dalam kasus ini, pihak sekolah tidak pernah memanggil orang tua Suryanto untuk mencari solusi bersama, seperti pembinaan atau bimbingan konseling. Tanpa ada pemanggilan resmi 1, 2, atau 3 kali, sekolah langsung mengambil keputusan final bahwa Suryanto tinggal kelas—hanya karena catatan alfa.
Saat orang tua mencoba memohon agar anaknya diberi kesempatan memperbaiki absensi, wali kelas dan pihak sekolah menolak. Lebih ironis lagi, saat orang tua meminta surat pindah agar anaknya dapat melanjutkan pendidikan di tempat lain, mereka dipaksa menandatangani surat pernyataan seolah keputusan pindah murni dari pihak orang tua, bukan karena dipaksa oleh situasi.
Pertanyaan Serius untuk SMA N 3 Jambi
• Apakah siswa dari keluarga tidak mampu tidak diberi ruang untuk berkembang di SMA N 3 Jambi?
• Apakah praktik tinggal kelas digunakan sebagai alat untuk “mengosongkan kursi” yang bisa dijual kembali dengan harga tinggi untuk siswa baru?
• Apakah sikap diskriminatif seperti ini dibenarkan dalam dunia pendidikan yang seharusnya adil dan merata?
Kajian Hukum dan Prinsip Pendidikan
1. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional:
• Pasal 4 ayat (1): Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif.
• Pasal 12 ayat (1): Setiap peserta didik berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai bakat, minat, dan kemampuannya; serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
2. Permendikbud No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah:
• Melarang penggalangan dana (pungutan) yang bersifat wajib dan memberatkansiswa/orangtua. Komite tidak boleh menetapkan iuran sebagai syarat mutlak dalam proses pembelajaran.
3. Permendikbud No. 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti:
• Menekankan pentingnya pendekatan non-diskriminatif dan humanis dalam menangani siswa bermasalah.
4. Prinsip Mastery Learning:
• Tinggal kelas seharusnya menjadi upaya terakhir, setelah pembinaan intensif, bimbingan konseling, komunikasi dengan orang tua, dan bukan karena faktor administratif semata.
Jika benar Dinas Pendidikan Provinsi Jambi tidak mampu menindak tegas dugaan pelanggaran hak siswa dan praktik pungli di SMA N 3 Kota Jambi, maka Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI wajib turun tangan. Pendidikan tidak boleh menjadi ladang diskriminasi dan pemerasan terhadap peserta didik, apalagi yang berasal dari keluarga miskin.
Pendidikan adalah hak konstitusional setiap warga negara. Dalam kasus ini, jelas terlihat adanya pelanggaran serius terhadap:
• Hak peserta didik
• Prinsip keadilan pendidikan
• Prosedur administratif sekolah
Kasus Suryanto adalah potret buram bagaimana sistem pendidikan yang seharusnya melindungi justru melukai. SMA N 3 Jambi harus bertanggung jawab, dan otoritas pendidikan harus segera bertindak.