Kerinci – elangnusantara.com – Tepat setahun yang lalu, suasana gegap gempita perayaan Hari Ulang Tahun ke-79 Republik Indonesia masih tergambar jelas di lokasi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) milik PT Kerinci Merangin Hidro (KMH), Jambi. Di tengah hutan dan pegunungan, pendiri Kalla Group, Jusuf Kalla, bersama ratusan karyawan, menggelar upacara pengibaran bendera Merah Putih dengan cara yang unik—menggunakan crane—sebuah simbol modernisasi dan semangat pembangunan nasional. Lagu Indonesia Raya berkumandang dengan khidmat, mengiringi semangat mereka yang telah bertahun-tahun mengabdikan diri di pelosok negeri demi energi masa depan.
JK, yang juga merupakan Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12, kala itu menyampaikan apresiasi atas dedikasi para pekerja yang telah lima tahun berada di kawasan terpencil untuk menyukseskan proyek tersebut. Dengan tegas ia menyebut bahwa proyek ini dibiayai oleh dana perusahaan Bukaka dan ditargetkan beroperasi pada tahun 2025, menjadi pusat energi yang akan menerangi daratan Sumatera.
Namun kini, kita akan memasuki perayaan HUT RI ke-80 tahun 2025, atmosfer di lokasi yang sama berubah drastis. Bukan lagi perayaan dan semangat nasionalisme yang terdengar, melainkan jeritan masyarakat yang kehilangan pekerjaan, kehilangan lahan, serta mata pencaharian mereka. Dampak proyek yang dulunya diagung-agungkan sebagai lambang kemajuan, kini menciptakan luka sosial, kerusakan lingkungan, dan keterputusan komunikasi antara perusahaan dan warga sekitar.
Direktur Eksekutif Perkumpulan Elang Nusantara Risma Pasaribu SH mencatat bahwa pembangunan yang baik seharusnya tidak menimbulkan ketimpangan sosial atau konflik horizontal di tengah masyarakat. Pembangunan yang menimbulkan dampak destruktif terhadap lingkungan hidup dan komunitas lokal, patut dievaluasi secara menyeluruh, bahkan direkonstruksi ulang. Bukan hanya demi keberlanjutan proyek, tetapi demi keberlangsungan hidup masyarakat yang terdampak langsung.
Ditambah dengan pernyataan Irwanda Nauufal Idris, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Persatuan Wartawan Duta Pena Indonesia (DPW PWDPI) Provinsi Jambi, menegaskan bahwa masyarakat bukanlah anti pembangunan. “Kami tidak anti pembangunan,” ujarnya, “Kami hanya meminta agar hukum ditegakkan dengan adil. Jangan biarkan hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Jangan sepelekan konflik horizontal yang kini terjadi di Muara Hemat, Kerinci. Ini adalah cikal bakal konflik yang lebih besar jika terus diabaikan.”
Dua tahun kemerdekaan, dua wajah realitas. Tahun lalu kita berbicara tentang cita-cita dan pengabdian di atas gunung, tahun ini kita harus bicara tentang suara-suara yang ditinggalkan di lembah penderitaan. Sudah saatnya pembangunan tidak hanya dipandang dari sisi megahnya infrastruktur, tapi juga dari utuhnya keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, dan martabat kemanusiaan.