Oleh: Armando – Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Jambi, Menko Relasi dan Informasi BEM Universitas Jambi, Di dunia kepemimpinan, terutama dalam sistem demokrasi, periode kedua bukan waktu untuk belajar tapi waktu untuk membuktikan. Gubernur Jambi, Al Haris, saat ini telah menginjak 100 hari di periode keduanya. Namun, alih-alih menunjukkan lompatan atau gebrakan, yang tampak justru bayang-bayang stagnasi, repetisi janji, dan pembangunan yang lebih sibuk pada bentuk daripada substansi.
Retorika pembangunan besar digaungkan di berbagai kanal media dan spanduk-spanduk formal. Tapi ketika masyarakat menoleh ke jalan yang berlubang, proyek yang bocor, dan janji yang tertinggal, maka yang muncul adalah satu pertanyaan mendasar: Apakah kita sedang dibangun, atau sedang dibohongi?
Islamic Center: Monumen Gagal yang Dibangun di Atas Kebisingan
Salah satu proyek yang menjadi sorotan tajam publik dalam 100 hari terakhir adalah pembangunan Islamic Center Jambi. Digagas sebagai pusat spiritual dan simbol kemegahan Islam di provinsi ini, kenyataannya justru mencederai makna agung tersebut.
Baru beberapa saat setelah digadang-gadang sebagai ikon, atapnya bocor. Bukan karena hujan kritik tapi karena kesalahan konstruksi. Tambahan anggaran mulai dibahas bahkan sebelum fungsi gedung berjalan optimal. Rakyat pun bertanya: mengapa proyek sebesar ini cacat dari awal? Apakah pengawasan tak berjalan, atau kualitas dikorbankan demi kecepatan seremonial?
Pembangunan berbasis nilai agama tidak semestinya menjadi ladang pemborosan anggaran dan pencitraan. Jika niatnya mulia, maka pelaksanaannya harus pula jujur dan berkelas.
Janji TPA Kerinci–Sungai Penuh: Sampah yang Kian Menumpuk, Solusi yang Kian Jauh
Selama kampanye periode lalu, salah satu komitmen Al Haris adalah penyelesaian konflik dan pembangunan TPA regional bagi Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh. Tapi hari ini, 100 hari telah berlalu tanpa langkah konkret. Sampah masih jadi masalah sosial, konflik antarwilayah belum diredakan, dan rakyat dibiarkan bertahan dengan persoalan klasik yang tak kunjung diurai.
Jika janji hanya sekadar alat retoris untuk memenangkan suara, maka bagaimana rakyat bisa kembali percaya pada proses demokrasi yang sehat?
Tambang dan Jalan Rusak: Ketika Negara Terlihat Tak Berani pada Korporasi
Satu lagi kegagalan serius yang mulai menjadi “normal” di provinsi ini adalah soal jalan rusak akibat aktivitas tambang. Dari Sarolangun, Batanghari, hingga Merangin, kondisi jalan hancur oleh lalu lintas truk perusahaan. Namun pemprov tak kunjung membuat langkah tegas untuk menata jalur tambang, menagih kompensasi, atau menertibkan perizinan yang jelas-jelas merugikan publik.
Ketika negara diam menghadapi pemodal, dan rakyat terus membayar kerusakan dengan nyawa dan biaya, maka kita patut bertanya: siapa sebenarnya yang sedang dilindungi oleh pemerintah daerah?
Dana PI Migas 10%: Transparansi yang Tak Pernah Datang
Janji transparansi dana Partisipasi Interest (PI) 10% dari sektor migas juga nyaris tak terdengar. Wacana itu terus bergema sejak periode pertama, namun kini tetap saja tak ada kepastian. Rakyat tidak tahu siapa yang mengelola, bagaimana dana itu disalurkan, atau ke mana alurnya diarahkan.
Minimnya transparansi dalam urusan sebesar ini sangat berbahaya. Karena di balik angka besar, tersembunyi banyak potensi celah untuk penyalahgunaan. Apalagi bila dikemas dalam ruang gelap tanpa pelibatan publik.
Rakyat Tak Butuh Monumen, Tapi Keberpihakan
Pemerintahan daerah tak boleh hanya sibuk membangun fisik tanpa menyelesaikan akar persoalan sosial. Apa artinya Islamic Center megah, jika jalan ke sekolah masih becek dan berlumpur? Apa gunanya plakat peresmian besar, jika janji kecil seperti TPA saja gagal diwujudkan?
100 hari adalah momentum untuk evaluasi. Jika sekarang saja sudah penuh cela dan tanda tanya, bagaimana dengan lima tahun ke depan?
Penutup: Mahasiswa Tak Akan Diam
Sebagai mahasiswa, kami bukan oposisi. Tapi kami tak akan diam saat pembangunan tak berpihak dan janji dikhianati. Kritik ini bukan karena kami benci kekuasaan. Tapi karena kami percaya, kekuasaan yang tak dikritik akan terus merasa benar dan ketika itu terjadi, rakyatlah yang akan terus jadi korban.
Gubernur Al Haris masih punya waktu untuk membalikkan keadaan. Tapi waktu itu tidak panjang. Jika hari-hari mendatang hanya diisi dengan seremoni dan slogan, maka rakyat akan mencatat periode ini bukan sebagai masa keemasan tapi sebagai masa ketika janji tak punya harga.