Jakarta mungkin menjadi tempat berdirinya PT Lambang Azas Mulia (LAM), namun jejaknya di Jambi menyisakan luka bagi banyak pekerja, khususnya para sopir tangki BBM yang menjadi tulang punggung distribusi energi nasional. Berdiri sejak 26 September 2016, LAM mengantongi izin operasional nasional sebagai penyedia tenaga kerja, namun di lapangan, wajah legalitas itu justru diduga menjadi topeng bagi praktik yang lebih pantas disebut sebagai skema perbudakan modern.
Di Jambi, sederet laporan mengindikasikan bahwa PT LAM—yang bekerja langsung di bawah PT Elnusa Petrofin—diduga kerap mempraktikkan PHK sepihak, penyalahgunaan uang jalan, pelarangan serikat pekerja, hingga pemaksaan pengunduran diri. Alih-alih menjadi mitra kesejahteraan, para pekerja justru merasa menjadi objek eksploitasi yang terstruktur dan sistematis.
1. PHK Sepihak: Keputusan Satu Arah, Seperti Tuhan
Sejumlah sopir mengaku diberhentikan secara mendadak tanpa melalui prosedur perundingan bipartit sebagaimana diatur dalam Pasal 151 UU No. 13 Tahun 2003. “Kami bahkan tak diberi kesempatan untuk membela diri,” ujar salah satu sopir yang dihubungi di Jambi.
Said Iqbal, Presiden Partai Buruh dan KSPI pernah menyatakan:
“PHK sepihak adalah bentuk kekerasan struktural terhadap buruh. Ini pelanggaran hak dasar yang harus diseret ke pengadilan.”
— (Sumber: Kompas, 2023)
2. Uang Jalan: Jalan Ada, Uangnya Tiada
Uang jalan yang seharusnya menjadi hak dasar pekerja transportasi, menurut para sopir, kerap dipotong, ditunda, bahkan hilang jejaknya. “Seolah-olah kami harus merogoh kocek pribadi untuk mengantarkan BBM negara,” kata seorang mantan sopir.
Laporan Ombudsman RI tahun 2022 menyebutkan:
“Praktik pemotongan uang jalan oleh perusahaan penyedia tenaga sopir adalah modus lama yang tak pernah ditindak tegas. Ini membuka celah korupsi sistematis.”
ICW (Indonesia Corruption Watch) dalam laporannya mengingatkan:
“Segala bentuk pemotongan dana operasional yang tidak transparan dan tanpa dasar hukum kuat dapat dikualifikasi sebagai penyalahgunaan kewenangan dan berpotensi melanggar Pasal 372 dan 374 KUHP.”
3. Dilarang Berserikat: Demokrasi Hanya di Kertas
Saat sopir berupaya membentuk serikat, intimidasi langsung datang. Padahal UU No. 21 Tahun 2000menjamin hak berserikat setiap pekerja.
Komnas HAM dalam Pernyataan Sikap Tahun 2021:
“Pelarangan dan intimidasi terhadap buruh yang ingin berserikat adalah bentuk pelanggaran HAM. Negara wajib hadir untuk melindungi kebebasan berserikat.”
ILO Convention No. 87 yang telah diratifikasi Indonesia juga menegaskan:
“Pekerja bebas untuk membentuk serikat tanpa campur tangan pihak manapun.”
4. Gaji Fluktuatif: Seperti Harga Cabai, Tapi Tidak Ada Pasarnya
Perubahan gaji tanpa kejelasan dasar hukum kerap terjadi, tanpa slip gaji, tanpa transparansi.
Kementerian Ketenagakerjaan (2023) dalam siaran persnya menyatakan:
“Slip gaji adalah bukti hak pekerja. Tidak memberikannya adalah pelanggaran administratif yang dapat dikenai sanksi tegas.”
Pasal 93 UU Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa pengusaha wajib membayar upah penuh kepada pekerja yang telah melakukan pekerjaan sesuai perjanjian kerja.
5. Surat Pengunduran Diri: “Mundur atau Dipecat, Pilih yang Mana?”
Sopir mengaku dipaksa menandatangani surat pengunduran diri di bawah tekanan. Ini diduga melanggar Pasal 335 KUHP dan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perdata.
LBH Jakarta menyebut praktik ini sebagai:
“Kriminalisasi hubungan industrial. Pemaksaan tanda tangan surat pengunduran diri adalah bentuk pelecehan hukum dan eksploitasi.”
Mahkamah Agung RI dalam Putusan No. 155 K/Pdt.Sus-PHI/2020 menyatakan:
“Pemaksaan pengunduran diri oleh perusahaan dapat dibatalkan secara hukum dan pekerja berhak atas pemulihan hak.”
Kutipan dan Tanggapan Publik
• DPW PWDPI Jambi:
“PT Elnusa Petrofin tidak bisa cuci tangan. Meski outsourcing, mereka tetap bertanggung jawab atas hak-hak dasar para pekerja.”
• BAIN HAM RI Jambi:
“Ini bukan sekadar pelanggaran ketenagakerjaan. Ini adalah degradasi martabat manusia yang terjadi di hadapan negara.”
• Masyarakat Sipil Jambi:
“Sistem kerja kolonial yang dibungkus legalitas modern. Mereka pakai baju outsourcing, tapi di dalamnya jeruji eksploitasi.”
Permintaan Serius: Turun Tangan Sekarang!
Kami meminta Kejaksaan Agung, KPK, Bareskrim Polri, Komnas HAM, dan Komisi IX DPR RI segera menyelidiki dugaan pelanggaran ini. Jangan tunggu hingga pekerja menjadi korban lebih jauh—secara mental, ekonomi, bahkan fisik. Legalitas tidak bisa digunakan sebagai lisensi untuk menindas.
Bila benar ada sistem outsourcing yang menjelma menjadi penjara kerja, maka saatnya untuk membongkar semua ini. Karena perbudakan, meski tanpa rantai, tetaplah perbudakan.
“Pekerja bukan budak. Negara tidak boleh membiarkan kekerasan struktural bercokol di balik perusahaan penyedia jasa tenaga kerja.”
— Komnas HAM RI, 2021
Permohonan Tindakan Serius dan Segera:
Kami, bersama DPW PWDPI Jambi, masyarakat sipil, dan para mantan pekerja yang terdampak, secara tegas menyampaikan permintaan resmi kepada institusi negara agar segera turun tangan. Skema perbudakan modern dan eksploitasi terhadap pekerja bukan hanya pelanggaran ketenagakerjaan—tetapi juga pengkhianatan terhadap prinsip keadilan sosial dan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Oleh karena itu, kami meminta:
1. Presiden Prabowo, KPK, Kejaksaan Agung, Bareskrim Polri, dan Kementerian ESDM untuk membuka penyelidikan dan penyidikan atas dugaan praktik mafia BBM subsidi di Provinsi Jambi yang melibatkan rantai distribusi hingga level pekerja operasional.
2. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan audit forensik atas sistem keuangan dan distribusi BBM subsidi di wilayah Jambi, termasuk pemotongan uang jalan dan potensi penyalahgunaan dana operasional yang merugikan negara dan buruh.
3. Kementerian Ketenagakerjaan RI agar segera menindaklanjuti dugaan pelanggaran hak pekerja oleh PT Lambang Azas Mulia (LAM), serta memastikan pengembalian seluruh hak dasar para sopir, termasuk upah, uang jalan, jaminan sosial, serta pemulihan hak atas pekerjaan yang hilang secara tidak sah.
4. Komnas HAM RI dan Komisi IX DPR RI untuk melakukan penyelidikan mendalam atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia dan hak-hak ketenagakerjaan yang dilakukan secara terstruktur oleh PT LAM dan PT Elnusa Petrofin, sebagai pemberi kerja langsung dan tidak langsung.
5. Menindaklanjuti laporan resmi yang telah disampaikan oleh Dewan Pimpinan Wilayah Persatuan Wartawan Duta Pena Indonesia (DPW PWDPI) Jambi, yang telah menangani, mengawal, dan menyuarakan suara para korban sejak awal kasus ini mencuat ke permukaan.
“Kami tidak menuntut belas kasihan. Kami menuntut keadilan.”
— Perwakilan Mantan Sopir BBM Jambi