Senyerang, Tanjung Jabung Barat 16 Juli 2025 – Fakta lapangan yang ditemukan Tim Investigasi Perkumpulan Elang Nusantara membuka borok pelaksanaan proyek jembatan usaha tani berbasis Dana APBN di Kecamatan Senyerang, Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Proyek yang semestinya menjadi wujud nyata dari ketahanan pangan nasional ini justru menyimpan potensi pelanggaran hukum berat.
Pembangunan jembatan sepanjang 8 meter senilai Rp132 juta, salah satunya, tidak dikerjakan sesuai RAB dalam SID, melainkan dijalankan oleh kelompok tani lokal dengan nilai bayaran jauh di bawah anggaran negara sekitar 15 hingga 10 juta saja. CV. Sembilan Bintang Lestari, perusahaan pelaksana proyek senilai total Rp2,1 miliar lebih, diduga kuat hanya mencairkan anggaran tanpa mengerjakan sendiri di lapangan—sebuah skema perbudakan terselubung berbasis outsourcing murahan.
“Kami tidak menyerang proyek pemerintah, kami menjaga akuntabilitas uang negara dan melindungi petani agar tidak dijadikan budak proyek. Ini proyek APBN, bukan proyek dagang,” ujar Risma Pasaribu, SH, Direktur Elang Nusantara.
Penting dicatat, bahwa proyek-proyek infrastruktur pertanian seperti ini berada dalam kerangka strategis Ketahanan Pangan Nasional, yang digarisbawahi langsung oleh pejabat tinggi negara:
“Kita tidak boleh main-main dengan ketahanan pangan. Kita tidak ingin rakyat kita suatu saat kelaparan hanya karena kita tidak disiplin mengurus pertanian kita sendiri.”
— Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan RI, dalam Rakornas Ketahanan Pangan 2024 di Jakarta (sumber: Kemhan RI)
“Dana APBN untuk pertanian itu dana amanah rakyat. Kalau disalahgunakan, bukan hanya mencederai pembangunan, tapi bisa berdampak hukum yang berat.”
— Andi Amran Sulaiman, Menteri Pertanian RI, saat meninjau program food estate di Kalimantan, 2024 (sumber: Humas Kementan)
Pernyataan dua pejabat negara ini mempertegas bahwa proyek infrastruktur pertanian bukan ruang abu-abu, apalagi zona nyaman bagi CV pemburu rente. Bila proyek menyimpang dari prinsip ketahanan pangan yang adil dan transparan, maka sah untuk dipertanyakan.
Fokus Dugaan Pelanggaran di Tanjabar:
1. Pengerjaan tidak sesuai RAB/SID
2. Kelompok tani dipaksa tanda tangan berita acara fiktif
3. CV pelaksana hanya menarik anggaran, pelaksanaannya dilempar ke petani dengan harga murah
4. Diduga terjadi pembiaran oleh pejabat teknis dan struktural di Provinsi Jambi
Pihak yang Harus Dimintai Tanggung Jawab:
• Yulian Bestari, Direktur CV. Sembilan Bintang Lestari
• Yaser Arafat, Ketua Tim Teknis, Kabid SDA PUPR Provinsi Jambi
• Budi Nurachman, Pejabat Pembuat Komitmen
• Rumusdar, Kadis TPHP Provinsi Jambi (selaku Kuasa Pengguna Anggaran)
Analisis Hukum dan Rambu Pengamanan Advokasi dari Perkumpulan Elang Nusantara:
1. Korupsi:
Jika terbukti ada pengurangan volume, pemalsuan dokumen serah terima, dan peralihan pekerjaan tanpa kontrak sah, maka bisa dikenakan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor.
2. Kerja paksa:
Pemaksaan terhadap kelompok tani untuk bekerja di luar kontrak resmi, tanpa perlindungan, berpotensi melanggar UU 13/2003 dan bahkan UU 21/2007 (TPPO).
3. Pelanggaran administrasi negara:
Penyimpangan dari dokumen resmi (SID, RAB, Kontrak) melanggar Permenkeu dan Permendagri tentang pengelolaan keuangan APBN/APBD.
Namun perlu digarisbawahi: Advokasi ini bukan delik aduan, bukan pencemaran nama baik, dan bukan penyerangan personal. Seluruh kritik ditujukan kepada pelaksanaan program publik yang bersumber dari APBN, bukan pada individu tanpa data.
Kemarahan dan keprihatinan bukan hanya datang dari aktivis dan pemantau anggaran. Masyarakat di Senyerang dan wilayah lain di Tanjab Barat mulai angkat suara. Mereka merasa dijadikan alat sekaligus korban dari proyek yang seharusnya menyejahterakan mereka.
“Kalau memang untuk kepentingan tani, biarkan saja kami yang kerjakan secara swakelola. Jangan lagi pakai CV yang cuma ambil untung, lalu kami yang kerja di lapangan tanpa kontrak jelas,” Masyarakat yang enggan disebutkan namanya
“Kami bukan tidak bisa bangun jalan atau jembatan tani. Kami hanya tidak dikasih kesempatan. Setiap tahun CV ganti-ganti, tapi kami tetap disuruh kerja dan disuruh diam. Ini tidak adil,” Masyarakat yang enggan disebutkan namanya.
Mereka menuntut agar ke depan, program optimalisasi lahan dan infrastruktur pertanian dilakukan secara swakelola penuh oleh kelompok tani, dengan pendampingan teknis dari penyuluh lapangan dan pengawasan publik, bukan melalui sistem outsourcing proyek yang terbukti menyimpang.
Tuntutan Elang Nusantara: Audit, Evaluasi, dan Penghentian Praktik Eksploitasi di Bawah Nama Pembangunan:
1. Audit investigatif oleh BPK, BPKP, dan Inspektorat Jenderal Kementan dan PUPR
2. Pemeriksaan etik dan disiplin terhadap pejabat provinsi terkait
3. Penegakan hukum terhadap CV yang mengalihkan pekerjaan dan diduga memanipulasi RAB
4. Perlindungan bagi kelompok tani dari tekanan dan intimidasi
Di tengah ancaman krisis pangan global, cuaca ekstrem, dan fluktuasi harga bahan pokok, ketahanan pangan Indonesia tidak bisa dibangun di atas fondasi kebohongan dan manipulasi anggaran. Proyek-proyek pertanian yang menyentuh langsung petani seharusnya menjadi wajah hadirnya negara di tengah rakyat. Namun, fakta-fakta di Tanjung Jabung Barat justru memperlihatkan kebalikan: petani dijadikan buruh murah atas nama pembangunan, sedangkan perusahaan dan pejabat struktural diduga bermain mata di belakang meja.
Data BPS dan Kementan mencatat bahwa lebih dari 24 juta penduduk Indonesia masih bekerja di sektor pertanian, namun tingkat kesejahteraannya jauh tertinggal. Petani kehilangan tanah, kini bahkan mulai kehilangan martabat ketika proyek yang mestinya menolong, justru menjadikan mereka alat transaksi CV dan pemegang kuasa anggaran.
Hukum dalam negara demokratis tidak boleh tunduk pada jabatan atau kekuasaan. Uang negara bukan milik CV atau oknum pejabat — ia adalah amanah rakyat. Jika hukum gagal melindungi petani dari eksploitasi berkedok proyek, maka Indonesia tidak sedang membangun ketahanan pangan, melainkan sedang menyiapkan krisis baru: krisis kepercayaan terhadap negara itu sendiri.
Negara harus hadir bukan hanya dalam wacana ketahanan pangan, tapi dalam tindakan yang nyata: menindak pelanggar, membersihkan birokrasi, dan mengembalikan martabat petani.
Bersambung…