Menu

Mode Gelap
Diduga Malpraktik, DPRD Desak Dinkes Tutup Sementara RS Erni Medika yang Tak Kantongi Akreditasi GMM Ditekan di Kantor Kejati: Minta Jawaban Kasus Korupsi, Malah Dapat Intimidasi dari Oknum Kejati Jambi Gagap! Reklamasi Bekas Tambang Milik PT Minemex dan PT SBC, Miliaran Dana Jamrek Diduga Raib: PWDPI Jambi: Kami Akan Tempuh Jalur Hukum! Fakta Bicara! Tumpukan Limbah Cemari Lingkungan, Beroperasi di Kebun Sawit, Diduga Armada BBM Industri Terlibat, Kadis LH: Waktu Dekat, Kita Terjun Langsung! PLTU Mikik PT.Permata Prima Elektrindo Diduga Cemari Sungai di Desa Semaran Kanupaten Sarolangun Sudah 100 Hari Al haris di Singgasana: Proyek Semakin Menggila, Janji Menguap Keudara

Headline

Outsourcing Rasa Kolonial: Dugaan Skema Perbudakan Modern di Balik Operasi PT Lambang Azas Mulia di Jambi

badge-check


					Outsourcing Rasa Kolonial: Dugaan Skema Perbudakan Modern di Balik Operasi PT Lambang Azas Mulia di Jambi Perbesar

Outsourcing Rasa Kolonial: Dugaan Skema Perbudakan Modern di Balik Operasi PT Lambang Azas Mulia di Jambi

Jakarta mungkin menjadi tempat berdirinya PT Lambang Azas Mulia (LAM), namun jejaknya di Jambi menyisakan luka bagi banyak pekerja, khususnya para sopir tangki BBM yang menjadi tulang punggung distribusi energi nasional. Berdiri sejak 26 September 2016, LAM mengantongi izin operasional nasional sebagai penyedia tenaga kerja, namun di lapangan, wajah legalitas itu justru diduga menjadi topeng bagi praktik yang lebih pantas disebut sebagai skema perbudakan modern.

Di Jambi, sederet laporan mengindikasikan bahwa PT LAM—yang bekerja langsung di bawah PT Elnusa Petrofin—diduga kerap mempraktikkan PHK sepihak, menyunat uang jalan, melarang pembentukan serikat pekerja, hingga memaksa pekerja menandatangani surat pengunduran diri. Alih-alih menjadi mitra kesejahteraan, para pekerja justru merasa menjadi objek eksploitasi yang terstruktur dan sistematis.

1. PHK Sepihak: Keputusan Satu Arah, Seperti Tuhan

Sejumlah sopir mengaku diberhentikan secara mendadak tanpa melalui prosedur perundingan bipartit sebagaimana diwajibkan Pasal 151 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Satu hari bekerja, esoknya “diusir” dari pekerjaan, tanpa alasan jelas, tanpa mediasi, tanpa pesangon. “Kami bahkan tak diberi kesempatan untuk membela diri,” ujar salah satu sopir yang dihubungi di Jambi.

2. Uang Jalan: Jalan Ada, Uangnya Tiada

Uang jalan, semestinya menjadi hak dasar pekerja transportasi. Namun para sopir mengaku uang ini kerap dipotong, ditunda, bahkan tidak jelas alokasinya. “Seolah-olah kami harus merogoh kocek pribadi untuk mengantarkan BBM negara,” kata seorang mantan pengemudi. Tak sedikit yang meminta agar BPK dan KPK segera mengaudit sistem keuangan ini, karena aroma pelanggaran Pasal 372 dan 374 KUHP tercium begitu menyengat.

3. Dilarang Berserikat: Demokrasi Hanya di Kertas

Ketika para sopir mulai mencoba membentuk serikat untuk melindungi hak-haknya, intimidasi datang tak lama kemudian. UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja seolah hanya berlaku di seminar dan forum akademik, bukan di halaman depo. “Kami ingin berserikat, bukan bersembunyi,” kata perwakilan mantan sopir kepada DPW PWDPI Jambi.

4. Gaji Fluktuatif: Seperti Harga Cabai, Tapi Tidak Ada Pasarnya

Perubahan gaji terjadi semaunya. Kadang turun, kadang lebih turun. Tanpa pemberitahuan, tanpa kesepakatan. Bahkan slip gaji pun kerap tidak diberikan. Padahal, menurut UU No. 2 Tahun 2004, ini bisa dikategorikan sebagai perselisihan hak yang bisa diseret ke meja pengadilan hubungan industrial.

5. Surat Pengunduran Diri: “Mundur atau Dipecat, Pilih yang Mana?”

Beberapa sopir mengaku dipaksa menandatangani surat pengunduran diri. “Kalau tidak mau, ya kamu diberhentikan begitu saja,” ujar mereka. Praktik seperti ini bisa dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap Pasal 335 KUHP, karena ada unsur paksaan dan perbuatan tidak menyenangkan.

Kutipan dan Tanggapan Publik

DPW PWDPI Jambi menyatakan: “PT Elnusa Petrofin tidak bisa cuci tangan. Meski outsourcing, mereka tetap bertanggung jawab atas hak-hak dasar para pekerja.”

Aktivis HAM lokal menyoroti bahwa: “Ini bukan sekadar pelanggaran ketenagakerjaan. Ini adalah degradasi martabat manusia yang terjadi di hadapan negara.”

Masyarakat sipil Jambi menyebut pola-pola ini sebagai: “Sistem kerja kolonial yang dibungkus legalitas modern.”

Permintaan Serius: Turun Tangan Sekarang!

Kami meminta Kejagung, KPK, Bareskrim Polri, Komnas HAM dan Komisi IX DPR RI segera menyelidiki kasus ini. Jangan tunggu sampai para pekerja jatuh miskin, mental terganggu, atau bahkan meregang nyawa di tengah eksploitasi yang dipoles rapi dengan dokumen perizinan. Izin operasional bukan lisensi untuk menindas.

Bila benar ada sistem outsourcing yang menjelma menjadi “penjara kerja,” maka sudah saatnya dibongkar. Karena perbudakan, meski tanpa rantai, tetaplah perbudakan.

PT Lambang Azas Mulia mungkin punya izin nasional, tapi tidak berarti mereka bisa beroperasi tanpa nurani. Kami masyarakat Jambi mencatat, dan sejarah akan mengingat siapa yang diam, siapa yang melawan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Diduga Malpraktik, DPRD Desak Dinkes Tutup Sementara RS Erni Medika yang Tak Kantongi Akreditasi

8 Juni 2025 - 10:44 WIB

GMM Ditekan di Kantor Kejati: Minta Jawaban Kasus Korupsi, Malah Dapat Intimidasi dari Oknum Kejati Jambi

8 Juni 2025 - 04:29 WIB

Gagap! Reklamasi Bekas Tambang Milik PT Minemex dan PT SBC, Miliaran Dana Jamrek Diduga Raib: PWDPI Jambi: Kami Akan Tempuh Jalur Hukum!

5 Juni 2025 - 19:18 WIB

Fakta Bicara! Tumpukan Limbah Cemari Lingkungan, Beroperasi di Kebun Sawit, Diduga Armada BBM Industri Terlibat, Kadis LH: Waktu Dekat, Kita Terjun Langsung!

5 Juni 2025 - 17:45 WIB

PLTU Mikik PT.Permata Prima Elektrindo Diduga Cemari Sungai di Desa Semaran Kanupaten Sarolangun

3 Juni 2025 - 17:47 WIB

Trending di Headline