Jambi, 2 Agustus 2025 – Kinerja Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jambi kembali menjadi sorotan tajam publik. Kali ini, kritik keras datang dari Ketua DPW Persatuan Wartawan Duta Pena Indonesia (PWDPI) Provinsi Jambi, Irwanda, terkait lambannya penegakan hukum dalam skandal proyek cetak sawah Merangin tahun 2015–2017. Meski tiga bawahannya telah divonis, nama Rumusdar Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jambi sekarang yang diduga menjadi otak dari praktik korupsi di Merangin yang masih belum tersentuh hukum.
“Saya bingung dengan Kejati Jambi ini. Apa sebenarnya kerja mereka dalam kisruh hukum yang terjadi hari ini? Mengapa nama besar seperti Rumusdar tak kunjung diperiksa, padahal logika hukum dan keadilan publik menuntut itu?” ujar Irwanda, dalam pernyataan resminya di Jambi.
Irwanda juga meminta Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk segera turun tangan dan mengevaluasi kinerja bawahannya di Jambi. “Saya minta Bapak Burhanuddin segera periksa bawahan anda yang di Jambi ini. Jika tidak ada pembenahan, Kejati Jambi hanya akan menjadi kantor administrasi surat panggilan, bukan lembaga penegakan hukum,” tegasnya.
Ia mengapresiasi sikap vokal Jaksa Penuntut Umum yang juga menjabat sebagai Asintel Kejati Jambi dalam beberapa perkara, namun mengingatkan bahwa suara tanpa tindakan nyata hanyalah simbol kegagalan.
“Jangan bersuara lantang dalam ruang kosong saja. Akhir-akhir ini, banyak penjahat berdasi berkeliaran dan memuakkan nurani publik. Jika Kejati Jambi tak bisa menindak aktor utama korupsi, lalu apa gunanya keberadaan institusi ini di tengah rakyat?” lanjut Irwanda.
Kasus cetak sawah Merangin telah menelan anggaran miliaran rupiah dari APBN dan APBD. Proyek ini awalnya dimaksudkan untuk membuka ribuan hektar lahan pertanian demi ketahanan pangan. Namun, dalam praktiknya, ditemukan banyak kejanggalan. Sebagian lahan fiktif, pengerjaan tidak sesuai spesifikasi, dan laporan keuangan yang dimanipulasi. Ironisnya, penyidik hanya menjerat pejabat setingkat PPTK dan staf pelaksana, sedangkan posisi pengambil keputusan di tingkat dinas dan pejabat tinggi dibiarkan lolos dari jerat hukum.
Kritik juga datang dari Risma Pasaribu SH.l, ia menilai Kejati Jambi hanya berani menindak pelaku kecil, namun ciut menghadapi nama-nama besar yang diduga punya relasi politik dan kekuasaan. Banyak kasus besar lainnya juga mengalami stagnasi, mulai dari penyalahgunaan anggaran dinas, gratifikasi proyek, hingga skandal pengadaan barang dan jasa.
“Kita tidak butuh Kejati yang hanya sibuk berpidato tentang integritas di seminar, tapi takut mengusut elit yang jelas-jelas menyalahgunakan jabatan,” ujar Risma.
Situasi ini memperlihatkan daruratnya reformasi internal di tubuh Kejaksaan Tinggi Jambi. Tanpa gebrakan nyata, publik akan terus kehilangan kepercayaan terhadap institusi penegak hukum.
“Jika institusi penegakan hukum lumpuh karena kepentingan, maka selamanya kita akan hidup di tengah negeri yang dipimpin oleh impunitas,” tutup Irwanda.