Jambi, elangnusantara.com – Proyek ambisius Jambi City Center (JCC) yang dibangun di atas lahan eks Terminal Simpang Kawat kini makin kuat dicurigai sebagai ladang skandal keuangan dan dugaan pelanggaran hukum. Setelah bertahun-tahun terbengkalai tanpa kejelasan, informasi terbaru yang diterima publik mengindikasikan bahwa tanah dan bangunan JCC telah dijadikan agunan di bank oleh pihak pengelola.
Kabar mengejutkan ini disampaikan oleh Jefri Bentara Pardede, Ketua Perkumpulan Sahabat Alam Jambi dan mantan anggota DPRD Kota Jambi.
“Kami memperoleh informasi bahwa aset JCC, baik tanah maupun bangunannya, sudah diagunkan ke bank. Padahal bangunan itu tidak difungsikan, bahkan nyaris ditinggalkan. Ini bukan hanya masalah wanprestasi—ini bisa jadi pelanggaran hukum berat,” tegas Jefri dalam keterangan tertulisnya.
Yang membuat situasi makin mengkhawatirkan, proyek JCC memiliki pola dan jejak perusahaan yang serupadengan proyek bermasalah di Nusa Tenggara Barat: Lombok City Center (LCC). Keduanya dikembangkan oleh perusahaan satu grup, yakni PT Bliss Properti Indonesia (untuk JCC) dan PT Bliss Pembangunan Sejahtera (untuk LCC). Dalam kasus LCC, Kejaksaan Tinggi NTB telah menetapkan tiga tersangka, termasuk mantan Bupati Lombok Barat Zaini Arony.
Modus dalam kasus LCC adalah menjalin kerja sama operasional (KSO), lalu mengagunkan sertifikat hak guna bangunan (HGB) milik daerah ke bank untuk membiayai proyek. Kredit macet, sertifikat disita.
Kembali ke Jambi, proyek JCC dibangun melalui skema Build Operate Transfer (BOT) antara PT Bliss Properti Indonesia dan Pemerintah Kota Jambi, dengan nilai kontribusi yang dijanjikan sebesar Rp 85 miliar. Namun hingga kini, baru Rp 7,5 miliar yang masuk ke kas daerah. Sisanya? Masih gelap.
Dikutip dari laman media jambilink.id Pemerintah Kota Jambi, di bawah kepemimpinan Wali Kota Dr. Maulana, telah menolak pengajuan adendum dari pihak pengelola dan tengah mengkaji langkah hukum atas dugaan wanprestasi.
Namun jika pengagunan lahan benar terjadi tanpa persetujuan sah dari Pemkot, maka kasus ini tak lagi berada di ranah perdata, melainkan bisa meluas ke ranah pidana. “Kalau ini benar, sama saja seperti yang terjadi di Lombok. Negara bisa dirugikan, dan aktor-aktornya harus dimintai pertanggungjawaban,” kata Jefri.
Menurut Jefri, JCC telah gagal total menjalankan fungsinya sebagai penggerak ekonomi lokal. Tidak hanya UMKM dan pelaku usaha kecil yang kehilangan ruang, tetapi juga potensi PAD Kota Jambi yang seharusnya bisa meningkat dari aktivitas ekonomi kawasan tersebut, kini nihil.
“Yang paling menderita adalah masyarakat kecil—pedagang yang gagal berjualan, pekerja yang kehilangan kesempatan kerja, dan publik yang melihat proyek ini jadi bangunan mati,” ujarnya.
Menyikapi dugaan ini, Direktur Perkumpulan Elang Nusantara, Risma Pasaribu, S.H., menyatakan bahwa pihaknya akan segera mengambil langkah awal untuk mengkaji dokumen perjanjian BOT dan status hukum aset tersebut.
“Kami akan mempelajari kasus ini lebih lanjut. Pembangunan di Kota Jambi harus dipastikan memberi manfaat bagi rakyat, bukan menjadi jebakan kerugian berkedok investasi,” tegas Risma.
Perkumpulan Elang Nusantara menilai, pola dugaan pelanggaran seperti ini tidak boleh dibiarkan. Bila indikasi kerugian negara dan pelanggaran prosedur terbukti, maka seharusnya aparat penegak hukum segera turun tangan.
“Jangan tunggu sampai semua jadi abu. Indikasinya sudah cukup kuat. Jika benar ada pengagunan aset negara tanpa persetujuan, maka penegakan hukum adalah harga mati,” pungkas Risma.
Kasus ini menambah daftar panjang proyek-proyek mangkrak yang menyisakan beban bagi daerah. Namun publik berharap, JCC tidak menjadi satu lagi monumen kegagalan yang berdiri megah di atas reruntuhan harapan masyarakat.