Program Optimasi Lahan Rp68 Miliar Menguap di Sawah: Optimasi Lahan “Asal Jadi” di Jambi
Program Optimasi Lahan yang digadang-gadang Kementerian Pertanian sebagai solusi untuk meningkatkan produksi pangan nasional, justru menjadi ladang keluhan dan kecurigaan korupsi di Provinsi Jambi. Dengan anggaran fantastis mencapai Rp68 miliar, hasil yang terlihat di lapangan lebih cocok disebut optimasi anggaran ketimbang optimasi pertanian.
Di dua daerah yang dikenal dengan tanah subur dan petani tangguh—Kerinci dan Sungai Penuh—anggaran Rp16 miliar digelontorkan. Namun alih-alih panen keberhasilan, yang dituai justru rasa kecewa. Seorang pejabat madya, yang enggan disebutkan namanya, mengungkap bahwa spek pengerjaan tidak sesuai dengan perencanaan. Para petani mengeluh: bukan panen hasil, tapi panen masalah. Jalan usaha tani yang tidak bisa dilalui, saluran irigasi yang lebih mirip got mampet, hingga lahan garapan yang tak layak pakai.
Tak kalah ironi, di Kabupaten Muaro Jambi, dari total anggaran Rp5 miliar, ditemukan sejumlah titik irigasi yang tidak dikerjakan sama sekali. Padahal, berdasarkan rencana kerja dan jadwal proyek, seluruh pengerjaan harusnya rampung pada 2024. Di lapangan? Yang ada hanya parit-parit kering dan papan proyek yang entah ke mana rimbanya.
Melihat ketimpangan yang menganga, Direktur Lembaga Perkumpulan Elang Nusantara Indonesia, Irwanda, bersuara lantang. Ia menyebut adanya indikasi korupsi besar-besaran dalam proyek ini dan mendesak audit menyeluruh oleh lembaga terkait. “Kami tidak main-main. Kami akan mengirim surat resmi ke Kementerian Pertanian agar dilakukan pemeriksaan penuh terhadap pihak-pihak terkait, baik di pusat maupun provinsi, terutama Dinas TPHP Jambi yang wajib bertanggung jawab.”
Irwanda juga meminta Menteri Pertanian menjadikan kondisi ini sebagai prioritas saat berkunjung ke Jambi. “Jangan hanya memotong pita dan menanam padi simbolik. Yang rakyat butuhkan adalah keadilan dan fungsi irigasi, bukan seremoni basa-basi,” tegasnya.
Jika lahan saja dioptimasi tanpa pengawasan, maka korupsi akan terus tumbuh subur seperti gulma yang tak pernah mati. Rp68 miliar bukan angka kecil—itu cukup untuk membangun masa depan pertanian. Tapi di tangan yang salah, uang itu hanya jadi pupuk bagi kerakusan.