Merangin, Jambi – Publik kembali disuguhkan tontonan klasik dalam drama penegakan hukum: bawahan dikorbankan, atasan dilupakan. Kasus korupsi bantuan sosial (bansos) pasca cetak sawah di Kabupaten Merangin yang menyeret tiga orang ke penjara, justru menyisakan satu nama besar yang seolah tak tersentuh: Rumusdar, mantan Kepala Dinas Pertanian sekaligus Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dalam proyek bernilai miliaran rupiah itu.
Antara tahun 2015 hingga 2017, program cetak sawah didanai negara untuk membantu petani melalui penyediaan sarana produksi (saprodi). Tapi alih-alih menyuburkan sawah, program ini malah menyuburkan korupsi. Kelompok tani tak pernah diajak menyusun Rencana Usulan Kelompok (RUK), barang disalurkan asal-asalan, dan proses pengadaan lebih mirip lelang keakraban daripada prosedur negara.
Kejaksaan mencatat kerugian negara mencapai Rp1,48 miliar. Tiga orang telah divonis: ZA (mantan Kabid), serta dua rekanan swasta GM dan ZW. Tapi nama Rumusdar, yang tandatangannya melegitimasi semua pencairan dana, justru masih nyaman menyandang status saksi. Sungguh sakti.
Yang lebih mencengangkan lagi, tidak ada satu pun dari tiga pejabat Kepala Dinas TPHP Provinsi Jambi—yang notabene sebagai penanggung jawab provinsi dan pembina teknis—ikut tersentuh. Nama-nama seperti Ir. Amrin Aziz (Kadis 2015–2016), Badrun Tamam, SP (Pj. Kadis 2016–2017), dan Ir. A. Maushul (Kadis 2017–2021) seperti memiliki jubah anti-hukum. Padahal, secara struktur, program ini dibiayai lewat skema koordinasi pusat–provinsi–kabupaten. Tapi sampai hari ini, belum ada panggilan, apalagi jeratan hukum.
Apakah karena mereka terlalu tinggi untuk dijangkau, atau terlalu akrab untuk disentuh?
Dikutip dari pernyataan Emerson Yuntho, aktivis antikorupsi dan mantan peneliti ICW, ini jelas ketidakadilan yang mencolok mata.
“Kalau bawahan bisa dihukum, apalagi atasannya yang menandatangani semua pencairan dana. Ketidakberanian penegak hukum terhadap aktor utama justru mencederai rasa keadilan.”
(Sumber: Kompilasi wawancara investigatif ICW, 2019–2023)
Dikutip dari pernyataan Prof. Dr. Eddy OS Hiariej, Guru Besar Hukum Pidana UGM, menegaskan bahwa jabatan membawa tanggung jawab pidana.
“Kalau ada kerugian negara dan ada perbuatan melawan hukum, KPA tidak bisa lepas dari proses pidana. Titik.”
(Sumber: Forum akademik UGM Law Discussion Series, 2021)
Sementara itu, Dian Bobto, Koordinator Gerakan Masyarakat Peduli Rakyat Jambi (MPRJ), mencium aroma pengamanan elit.
“Kalau tak berani menyentuh elit, berarti aparat ikut dalam permainan. Publik tidak bodoh,”
ujarnya menantang Kejati Jambi untuk mengambil alih penanganan kasus ini dari Kejari Merangin.
Suara perempuan pun tak tinggal diam. Aktivis perempuan, Risma Pasaribu, SH, menyatakan bahwa masyarakat sipil siap mengambil langkah lebih tegas.
“Jika tidak ada tindak lanjut dari penegak hukum di Jambi, kami akan bawa kasus ini ke Kejaksaan Agung dan KPK dalam waktu dekat. Dugaan saya, Rumusdar bukan hanya terlibat dalam kasus ini. Kami juga sedang mendalami dugaan mega korupsi dana APBN Oplah 2024 yang patut diselidiki,”
ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima media.
Dikutip dari pernyataan Prof. Dr. Bambang Brodjonegoro, Guru Besar FEB UI dan mantan Menteri PPN, impunitas elite daerah sangat membahayakan legitimasi negara.
“Jika elite daerah bisa lolos dari jeratan hukum hanya karena posisi atau koneksi, maka yang rusak bukan hanya anggaran, tapi fondasi kepercayaan publik pada negara.”
(Sumber: Seminar Nasional FEB UI, 2022 – Diskusi Tata Kelola Daerah)
Kisah ini bukan sekadar soal bansos atau cetak sawah. Ini soal bagaimana hukum bisa dibengkokkan untuk menghindari mereka yang seharusnya bertanggung jawab. Jika KPA kabupaten saja bisa “lolos”, apalagi KPA provinsi dan aktor elite di balik penganggaran?
Jika aparat penegak hukum masih terus memilih diam, maka publik tak salah bertanya: siapa sebenarnya yang mereka lindungi?
Karena dalam negara hukum, tak seharusnya ada “kelas kebal” yang berdiri di atas hukum. Kalau yang besar tak tersentuh, maka reformasi hanya tinggal jargon, dan keadilan tinggal angan.