Jambi, 19 Juni 2025 — Sejumlah aktivis Jambi yang dimotori oleh Ade Hary Purnama Silitonga, S.Pd dan Risma Pasaribu, S.H, mendatangi kantor DPRD Provinsi Jambi untuk menggelar debat publik bertajuk “Unsur Apa Saja yang Menjadi Tolak Ukur DPRD Provinsi Jambi Mempublish Proyek Islamic Centre Tidak Gagal Konstruksi”. Kunjungan ini merupakan tindak lanjut atas surat resmi yang telah mereka layangkan sejak Senin lalu, yang ditujukan langsung kepada Ketua DPRD Provinsi Jambi, Hafis.
Namun, hingga waktu yang dijadwalkan, tidak satu pun anggota DPRD tampak hadir atau memberikan konfirmasi. Tidak adanya tanggapan tertulis ataupun lisan terhadap surat resmi tersebut menimbulkan dugaan kuat akan sikap abai dan tidak profesional Ketua DPRD sebagai penyelenggara pemerintahan daerah yang seharusnya terbuka terhadap kritik publik.
Ketiadaan respon ini membuka ruang kecurigaan atas dugaan kongkalikong atau kolusi antara DPRD dan Dinas PUPR Provinsi Jambi, khususnya terkait proyek pembangunan Islamic Centre yang sarat kejanggalan. Sebagai informasi, proyek yang semula dianggarkan Rp150 miliar itu, kini membengkak menjadi lebih dari Rp220 miliar, meskipun ditemukan kerusakan konstruksi pada beberapa titik bangunan.
Ironisnya, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) sebelumnya, DPRD justru secara sepihak menyatakan bahwa “Islamic Centre Tidak Gagal Konstruksi”, meskipun bukti visual dan laporan teknis menunjukkan kerusakan yang nyata.
“Kami akan terus memperjuangkan aspirasi masyarakat Jambi yang menginginkan kehadiran Islamic Centre sebagai pusat peradaban Islam modern. Tapi perjuangan itu tidak boleh dinodai oleh praktik kolutif atau pembiaran atas kerusakan proyek dengan dalih politis,” tegas salah satu aktivis.
Sikap Ketua DPRD Provinsi Jambi, Hafis, yang tidak menindaklanjuti surat resmi dari warga negara, dapat berimplikasi hukum, terutama:
1. Pasal 421 KUHP: Penyalahgunaan wewenang oleh pejabat untuk menghalangi atau merugikan warga negara dalam menjalankan haknya.
“Seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan untuk memaksa atau mencegah sesuatu yang menjadi hak seseorang, dapat dipidana penjara hingga dua tahun delapan bulan.”
2. UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, khususnya Pasal 17 dan Pasal 54, yang mewajibkan pejabat publik memberikan tanggapan atas aduan atau permintaan informasi masyarakat dalam tenggat waktu tertentu.
3. Kode Etik DPRD, melalui Badan Kehormatan (BK), dapat menindak Ketua DPRD jika terbukti melakukan pengabaian terhadap kewajiban konstitusional melayani aspirasi rakyat sebagai wujud akuntabilitas lembaga legislatif.
Atas dasar ini, para aktivis menyatakan komitmennya untuk melaporkan Ketua DPRD Provinsi Jambi ke Badan Kehormatan DPRD, serta mempertimbangkan jalur hukum lebih lanjut apabila terdapat indikasi penyalahgunaan kekuasaan.
Menutup aksinya, aktivis menyinggung pernyataan Ketua DPRD yang sempat viral karena melontarkan kalimat “apo selero kau” kepada massa aksi beberapa waktu lalu.
“Kalau kemarin beliau tanya ‘apo selero kau’, hari ini kami balik bertanya: apa sebenarnya selera Ketua DPRD terhadap kritik publik dan proyek Islamic Centre? Apakah selera beliau memang alergi terhadap transparansi?”