Oleh: Armando Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Jambi, Di antara gejolak tantangan Jambi dalam bentuk kerusakan infrastruktur, kemiskinan desa, dan konflik lahan yang belum terselesaikan tersebut, pemerintah provinsi pun justru menyuguhkan “prestasi” pembangunan di hari ini menjadi konten olok-olok: Gedung Islamic Center. Pembangunan itu pun sudah sejak awal menuai tanda tanya, sekarang terbukti menuai masalah. Megahnya bangunan itu dibanggakan Gubernur Al Haris itu dalam 100 hari kerja, bocor bahkan sebelum digunakan secukupnya. Dan semakin parahnya, sekarang pun beredar kabar bahwa pemerintah berencana mengajukan penambahan anggaran.
Sebuah proyek Rp149 miliar lebih bernilai, yang dalam hal administrasi tercatat sudah mencapai 100% realisasi fisik, ternyata tidak berdaya menghadapi musim hujan. Atapnya pun pecah. Lantainya banjir. Masyarakat marah, bongkahan, dan mereka terus terbenam di pikiran mereka: apa itu dibuat untuk jika kualitasnya mencret?
Islamic Center: Megah di Dokumen, Gagal di Kenyataan
Berdasarkan dokumen resmi Dinas PUPR Provinsi Jambi, proyek Islamic Center ditargetkan selesai pada 14 Februari 2025. Namun hingga kini, meski dilaporkan selesai, kualitasnya dipertanyakan. Fakta-fakta yang beredar di media dan lapangan menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara yang direncanakan dan yang dibangun.
Jika bangunan ini memang sudah benar-benar lewat tahapan pengawasan teknis yang tepat, maka pertanyaannya: bagaimana kebocoran atap dapat terjadi di proyek senilai ratusan miliar? Dan jika memang benar ada kekurangan teknis, mengapa malah muncul wacana penambahan anggaran bukannya penilaian menyeluruh?
Inilah penyakit pembangunan kita semua ini: lebih merhatamkan tampilan visual daripada daya tahan fungsional. Proyek ini bukanlah dibuat untuk menyelesaikan kebutuhan mendesak masyarakat, tapi untuk memuaskan ambisi politik membangun simbol, bukan solusi.
100 Hari Gubernur Al Haris: Lebih Banyak. Retorika Ketimbang Rasa Urgensi
Jika kami terbata-belanyalah, 100 hari awal Gubernur Al Haris lebih banyak berwarna proyek bersifat seremonial dan kondisional kebijaksanaan struktural yang menyentuh pemecahan akar persoalan rakyat Jambi. Islamic Center menjadi simbol dari kondisi arah pembangunan salah urus: proyek besar tetapi tidak kondisional untuk kebutuhan dasar.
Sementara masyarakat di kabupaten masih harus berjalan melewati jalan rusak parah, fasilitas kesehatan terbatas, dan sekolah reyot, pemerintah justru mengalirkan dana ratusan miliar ke bangunan yang belum digunakan tapi sudah rusak.
Kita seakan-akan lebih sibuk memperindah etalase rumah sementara isi dapurnya kosong.
Tambahan Anggaran: Cerminan Buruk Perencanaan
Argument bahwa proyek ini memerlukan tambahan anggaran ternyata menguatkan impresi bahwa perencanaan proyek Islamic Center tidak melalui proses yang matang. Akan tetapi publik telah tahu, proses perencanaan dan pelelangan proyek infrastruktur skala besar selalu melibatkan banyak tenaga ahli, detail engineering design (DED), serta pengawasan ketat.
Apabila proyek baru saja selesai tapi sudah menuntut tambahan dana, maka publik pun berhak bertanya:
• Di mana pengawasan teknis ini?
• Apakah ada penyimpangan dalam pelaksanaan kontrak?
• Terutama yang paling menyakitkan: Mengapa lagi-lagi rakyat yang harus membayar harganya atas kesalahan tidak milik mereka?
Praduga Tak Bersalah, Tapi Kritik Tetap Layak Disuarakan
Kembali lagi, kita masih menghargai asas praduga tak bersalah. Semua kesalahan teknis belum tentu berarti ada korupsi. Tapi sebaliknya, rakyat juga punya hak untuk curiga. Karena dari pengalaman banyak proyek bermasalah di Indonesia, bocor bukan hanya terjadi di atap gedung tapi juga di jalur distribusi anggaran.
Islamic Center harus menjadi tempat rohani dan peradaban, bukan areal pemborosan dana. Jika bangunan keagamaan dikelola tanpa spirit kejujuran dan pertanggungjawaban, maka yang terlahir bukan lahan ibadah, tapi monumen kemunafikan birokrasi.
Penutup: Kita Tak Kekurangan Kubah, Tapi Kekurangan Nurani
Rakyat Jambi tidak membutuhkan gedung megah yang bocor. Mereka membutuhkan pemimpin yang sadar tempat letaknya urgensinya. Mereka membutuhkan hadirnya negara yang menjawab masalahnya, bukan menyusupkan proyek kerja prestise demi menambah kecantikan laporan pekerjaan.
Islamic Center sekarang bukan lagi gedung yang bocor, tetapi pula cerminan pemerintahan yang santai membaca urgensinya. Dan jika arah pembangunan tidak segera ditata kembali, maka bukan hanya gedung yang akan jatuh, tetapi kepercayaan rakyat.