Menu

Mode Gelap
Diduga Malpraktik, DPRD Desak Dinkes Tutup Sementara RS Erni Medika yang Tak Kantongi Akreditasi GMM Ditekan di Kantor Kejati: Minta Jawaban Kasus Korupsi, Malah Dapat Intimidasi dari Oknum Kejati Jambi Gagap! Reklamasi Bekas Tambang Milik PT Minemex dan PT SBC, Miliaran Dana Jamrek Diduga Raib: PWDPI Jambi: Kami Akan Tempuh Jalur Hukum! Fakta Bicara! Tumpukan Limbah Cemari Lingkungan, Beroperasi di Kebun Sawit, Diduga Armada BBM Industri Terlibat, Kadis LH: Waktu Dekat, Kita Terjun Langsung! PLTU Mikik PT.Permata Prima Elektrindo Diduga Cemari Sungai di Desa Semaran Kanupaten Sarolangun Sudah 100 Hari Al haris di Singgasana: Proyek Semakin Menggila, Janji Menguap Keudara

Headline

Tongkang PT Nanriang Tabrak Keramba Warga, Irwanda: Bentuk Kegagalan Sistemik Dalam Tata Kelola Sumber Daya Alam

badge-check


					Tongkang PT Nanriang Tabrak Keramba Warga, Irwanda: Bentuk Kegagalan Sistemik Dalam Tata Kelola Sumber Daya Alam Perbesar

Pematang Jering, 2 Juni 2025 — Sebuah insiden tragis kembali mencoreng wajah pengelolaan lingkungan dan keadilan sosial di Jambi. Pada Jumat petang, 30 Mei 2025, sebuah tongkang pengangkut batubara kehilangan kendali dan menabrak deretan keramba ikan milik masyarakat di Sungai Batanghari, tepatnya di RT 03 Desa Pematang Jering. Akibat kejadian ini, puluhan keluarga petani keramba kehilangan mata pencaharian dan menderita kerugian besar.

Menurut keterangan Kepala Dusun, Tatang, sekitar pukul 18.30 WIB, kapal penarik tongkang mengalami kandas akibat surutnya air sungai. Ketika mencoba mundur, tali penarik tersangkut di kipas kapal hingga mesin mogok dan tali putus. Akibatnya, tongkang yang kehilangan kendali melaju deras dan menghantam keramba-keramba warga yang berjejer di tepi sungai.

Warga yang menyaksikan insiden itu sempat berupaya mencegah kerusakan lebih lanjut menggunakan perahu jaga untuk mendorong tongkang menjauh. Namun usaha itu tak mampu menyelamatkan 20 keramba berisi ikan siap panen yang hancur dan hanyut terbawa arus.

Dari hasil investigasi lapangan yang dilakukan oleh Tim Elang Nusantara, total kerugian yang diderita warga ditaksir mencapai Rp 630 juta. Kerugian itu mencakup biaya pembuatan keramba, pembelian bibit, pakan selama lima bulan, serta nilai panen yang sepenuhnya gagal. Yang lebih menyakitkan, kerugian itu tak hanya berupa materi, tapi juga merenggut sumber penghidupan utama masyarakat bantaran sungai.

Ironisnya, para petani justru terabaikan dalam proses ganti rugi. “Sampai sekarang kami belum mendapat ganti rugi. Kesepakatan yang kemarin Katanya hanya pemodal yang diganti, sebab kami digaji dari persenan dari hasil panen bang,” ujar salah satu petani yang enggan disebut namanya.

Tak hanya akibat tabrakan, warga mengeluhkan bahwa kehadiran tongkang batubara yang rutin melintas di Sungai Batanghari menimbulkan gelombang besar dan kebisingan yang menyebabkan ikan stres dan mati. Air sungai pun menjadi keruh dan kualitas budidaya menurun drastis. Dalam lima tahun terakhir, tingkat keberhasilan panen menurun 70% hingga 80%. Dari 10.000 bibit ikan yang dilepaskan, hanya sekitar 2.000 hingga 3.000 ekor yang bisa dipanen.

Dari penelusuran Tim Elang Nusantara, terungkap bahwa tongkang batubara yang menabrak keramba masyarakat adalah milik PT Nanriang, perusahaan tambang batubara yang beroperasi di wilayah Kabupaten Batanghari. Perusahaan ini tercatat secara rutin menggunakan jalur Sungai Batanghari sebagai lintasan tongkang batubara mereka.

Penemuan ini memperjelas arah tanggung jawab hukum. Berdasarkan prinsip Strict Liability dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), PT Nanriang bertanggung jawab atas kerusakan tanpa perlu dibuktikan unsur kesalahannya.

Menanggapi insiden ini, Risma Pasaribu SH selaku Bendum DPW PWDPI (Persatuan Warrawan Duta Pena Indonesia) menyampaikan kritik tajam terhadap perusahaan dan pemerintah:

“Kami mengecam keras kelalaian PT Nanriang. Negara tidak boleh kalah oleh korporasi. Warga bantaran sungai berhak atas penghidupan yang layak dan aman. Kami mendorong agar Pemerintah Provinsi Jambi untuk segera:

• Menyegel sementara aktivitas sungai PT Nanriang sampai pemulihan selesai;

• Memastikan ganti untung, bukan sekadar ganti rugi, bagi petani keramba;

• Menerbitkan Peraturan Gubernur tentang Zona Budidaya Sungai;

• Menindak pejabat yang mengabaikan suara rakyat.”

Risma juga menyebut bahwa aktivitas perusahaan sudah seharusnya diawasi ketat karena selain menyebabkan kerugian materi, juga telah merusak kualitas air dan menurunkan fungsi ekologis Sungai Batanghari.

Dalam mediasi terakhir, pihak perusahaan menyatakan bersedia mengganti kerugian sebesar Rp 440 juta. Namun jumlah tersebut tidak mencakup seluruh kerugian dan—lebih menyakitkan—tidak menyentuh hak para petani yang menjadi ujung tombak budidaya ikan. Para petani merasa hak mereka dikebiri karena dianggap hanya sebagai buruh dari pemodal.

Warga Pematang Jering meminta agar pemerintah dan perusahaan tidak hanya memberikan ganti rugi, tetapi juga ganti untung atas kerja keras dan masa depan yang hilang. Mereka juga mendesak pembentukan zona budidaya sungai yang bebas dari lalu lintas tongkang dan pencemaran, serta adanya pos pemantauan permanen di titik lintasan tongkang.

Sayangnya, surat permohonan yang telah dikirim ke Gubernur Jambi hingga kini tak kunjung mendapat tanggapan. Padahal persoalan ini tidak hanya menimpa Desa Pematang Jering, tapi juga desa-desa lain yang hidup bergantung pada Sungai Batanghari.

Irwanda Ketua DPW PWDPI mengatakan, “Insiden ini menjadi potret nyata bahwa kebijakan energi kotor dan ekstraktif, seperti batubara, tak hanya merusak lingkungan, tapi juga menindas kehidupan rakyat kecil”

Pemerintah daerah seperti Bupati dan Kepala Desa mungkin mendukung warga, tetapi kewenangan mereka terbatas. Sementara itu, Pemerintah Provinsi dan pusat seolah abai terhadap nasib rakyat yang hidup berdampingan dengan sungai.

Irwanda menambahkan bahwa “Insiden tongkang PT Nanriang bukan semata kecelakaan teknis, tetapi bagian dari kegagalan sistemik dalam tata kelola sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan”

Pemerintah harus turun tangan—bukan hanya memberi kompensasi sesaat, tapi menjamin perlindungan jangka panjang bagi petani keramba.

Karena jika tidak, bukan hanya keramba yang hancur, tapi juga harapan hidup masyarakat sepanjang Sungai Batanghari.

Disusun oleh: Tim Investigasi Elang Nusantara

Untuk informasi lebih lanjut atau peliputan lanjutan, hubungi: 082185197240

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Diduga Malpraktik, DPRD Desak Dinkes Tutup Sementara RS Erni Medika yang Tak Kantongi Akreditasi

8 Juni 2025 - 10:44 WIB

GMM Ditekan di Kantor Kejati: Minta Jawaban Kasus Korupsi, Malah Dapat Intimidasi dari Oknum Kejati Jambi

8 Juni 2025 - 04:29 WIB

Gagap! Reklamasi Bekas Tambang Milik PT Minemex dan PT SBC, Miliaran Dana Jamrek Diduga Raib: PWDPI Jambi: Kami Akan Tempuh Jalur Hukum!

5 Juni 2025 - 19:18 WIB

Fakta Bicara! Tumpukan Limbah Cemari Lingkungan, Beroperasi di Kebun Sawit, Diduga Armada BBM Industri Terlibat, Kadis LH: Waktu Dekat, Kita Terjun Langsung!

5 Juni 2025 - 17:45 WIB

PLTU Mikik PT.Permata Prima Elektrindo Diduga Cemari Sungai di Desa Semaran Kanupaten Sarolangun

3 Juni 2025 - 17:47 WIB

Trending di Headline