Pematang Jering, 1 Juni 2025 — Sebuah insiden tragis terjadi pada Jumat petang, 30 Mei 2025, di Sungai Batanghari, tepatnya di Desa Pematang Jering, RT 03. Sebuah tongkang pengangkut batubara yang kehilangan kendali menabrak deretan keramba ikan milik masyarakat, menyebabkan kerugian besar dan menyisakan luka sosial dan ekonomi bagi puluhan keluarga petani keramba yang menggantungkan hidupnya dari aliran sungai ini.
Menurut keterangan Kepala Dusun (Kadus) Tatang, sekitar pukul 18.30 WIB kapal penarik tongkang batubara mengalami kandas akibat air surut. Upaya kapal untuk mundur dan menarik tongkang justru memperburuk situasi. Tali penarik tersangkut pada kipas kapal hingga mesin mogok dan tali terputus, menyebabkan tongkang melaju tanpa kendali dan menghantam keramba-keramba yang berjejer di tepi sungai.
Warga sekitar yang melihat kejadian bergegas menggunakan boat jaga untuk mendorong tongkang agar tidak menghantam lebih banyak keramba. Namun, kerusakan sudah tak terelakkan. Sebanyak 20 keramba yang berisi ikan siap panen hancur dan hanyut.
Kerugian Masyarakat: Tak Sekadar Angka
Dari catatan investigasi lapangan oleh tim dan keterangan masyarakat, kerugian yang diderita mencapai angka fantastis, setidaknya hasil kalkulasi dari tim elang mencapai Rp 630 juta. Ini meliputi biaya pembuatan keramba, pembelian bibit ikan, pakan selama lima bulan, hingga potensi pendapatan dari hasil panen yang gagal total.
Kerugian ini tak hanya berdampak secara finansial, namun juga mematikan sumber penghidupan. Sepuluh petani kehilangan mata pencaharian karena harus memulai dari nol. Ironisnya, dari semua kerugian itu, hanya pihak pemodal yang mendapatkan ganti rugi. Para petani yang mengurus, memelihara, dan menjaga ikan setiap hari, justru terkesan terabaikan.
“Sampai sekarang kami belum mendapat ganti rugi. Katanya hanya pemodal yang diganti, sebab kami digaji dari persenan dari hasil panen bang” ujar seorang petani yang enggan disebut namanya.
Lebih parah lagi, tongkang batubara yang melintas rutin di sungai ini menimbulkan gelombang besar dan suara bising dari mesin yang menyebabkan ikan stres dan mati. Air sungai menjadi keruh, dan kualitas budidaya ikan menurun drastis semenjak aktivitas ini semakin masif, Dalam lima tahun terakhir, petani mengaku hanya mampu memanen 20% dari potensi hasil yang seharusnya, sebagai contoh 10.000 bibit yang dilepas di keramba, paling yang hidup hanya 3.000 hingga 2.000 bibit saja.
Permintaan Masyarakat: Ganti Untung, Bukan Ganti Rugi
Para petani berharap agar perusahaan batubara tak hanya memberi ganti rugi, tapi ganti untung atas kerja keras waktu dan masa depan mereka yang dirampas. Mereka juga mendesak adanya komunikasi yang transparan dan partisipatif antara perusahaan, pemerintah, dan warga.
“Kalau memang tongkang harus lewat, tolong dirikan pos jaga atau pemandu. Jangan sampai terulang,” tambah salah satu petani keramba yang terdampak.
Harapan lain adalah pembentukan kawasan khusus budidaya ikan yang terlindungi dari lalu lintas tongkang dan pencemaran sungai. Sayangnya, surat permohonan masyarakat yang dikirim ke Gubernur Jambi tak kunjung direspons. Padahal, tak hanya Pematang Jering, ratusan kepala keluarga di desa tetangga juga menggantungkan hidup dari keramba di Sungai Batanghari.
Kebijakan Energi Kotor, Rakyat Jadi Korban
Kasus ini menunjukkan dengan gamblang bagaimana kebijakan energi ekstraktif, seperti pertambangan batubara, tak hanya merusak lingkungan, tapi juga merampas ruang hidup masyarakat kecil. Meskipun Bupati dan Kepala Desa setempat mendukung aktivitas petani keramba, kewenangan mereka terbatas. Di sisi lain, Pemerintah Provinsi Jambi seolah abai dan membiarkan masyarakat berjuang sendiri menghadapi kekuatan modal dan industri.
Dalam pertemuan mediasi terakhir, perusahaan berjanji akan mengganti kerugian sebesar Rp 440 juta. Namun angka itu belum mencakup seluruh kerugian, dan belum menyentuh hak petani sebagai pelaku utama di lapangan.
Butuh Perlindungan Serius, Bukan Janji Manis
Insiden tongkang batubara yang menabrak keramba ini bukan sekadar kecelakaan teknis, melainkan bukti nyata kegagalan tata kelola sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan. Pemerintah harus segera turun tangan—bukan hanya memberi kompensasi sesaat, tapi menjamin perlindungan jangka panjang bagi petani keramba.
Karena jika tidak, bukan hanya keramba yang hancur, tapi juga harapan hidup masyarakat di sepanjang Sungai Batanghari.
Disusun oleh Tim Investigasi Elang Nusantara
Untuk informasi lebih lanjut atau peliputan lanjutan, hubungi: [082358287347]