Kota Jambi 7 Agustus 2025 – Proyek pembangunan pusat perbelanjaan dan hotel di atas lahan eks Terminal Simpang Kawat, atau yang dikenal dengan proyek Jambi City Center (JCC), kembali disorot. Tak hanya mangkrak secara fisik, proyek ini kini diwarnai dugaan pelanggaran administratif dan potensi kerugian keuangan daerah akibat addendum perjanjian kerja sama yang janggal antara Pemerintah Kota Jambi dan PT Bliss Properti Indonesia (BPI).
Dikutip dari laman media resmi vojnews.id, dalam dokumen audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Jambi serta Laporan Keuangan Pemerintah Kota Jambi tahun 2024, terungkap bahwa Addendum I yang diteken setelah perjanjian awal 2014 telah mengubah batas waktu penyelesaian proyek secara tidak lazim. Semula, kewajiban pembangunan rampung dalam 24 bulan sejak kontrak ditandatangani. Namun, addendum itu menggeser titik awal menjadi 24 bulan sejak groundbreaking yang baru dilakukan 10 Maret 2016.
Padahal, menurut prinsip umum kontrak kerja sama pemerintah dengan pihak swasta, tolok ukur waktu seharusnya dimulai sejak perjanjian berlaku, bukan berdasarkan peristiwa simbolik seperti peletakan batu pertama. Perubahan ini berisiko melegalkan penundaan sepihak oleh investor tanpa sanksi tegas.
Lebih lanjut, hingga akhir 2024, PT BPI belum menyetorkan kontribusi tetap ke kas daerah, dengan alasan masih menunggu hasil penilaian ulang aset oleh Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP). Akibatnya, belum ada kepastian nilai kontribusi yang wajib dibayarkan berdasarkan luas bangunan aktual yang hanya 67,78% dari rencana awal.
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI Tahun 2020, disebutkan bahwa hasil peninjauan lapangan oleh Dinas PUPR atas perintah Wali Kota menunjukkan perbedaan luas signifikan antara dokumen IMB dan realisasi bangunan, yang menambah panjang daftar dugaan penyimpangan fisik proyek.
Ironisnya, meski evaluasi dan temuan audit sudah jelas sejak 2020, Pemerintah Kota Jambi baru membentuk Tim Addendum pada April 2021 melalui SK Wali Kota No. 163 Tahun 2021. Tim ini dibentuk untuk menyesuaikan isi perjanjian kerja sama, namun hingga kini tidak ada kejelasan publik terkait hasil kerja tim tersebut, termasuk apakah ada renegosiasi kontribusi atau sanksi kepada PT BPI.
Di sisi lain, pernyataan Wali Kota Maulana yang menyebut bahwa tim hukumnya telah bersurat ke PT BPI soal pelunasan kewajiban juga terkesan janggal dan kontradiktif. Pasalnya, dokumen audit BPK Jambi 2024 menyebutkan bahwa proses perhitungan kontribusi masih dalam kajian KJPP, belum tahap penagihan atau eksekusi.
“Kami dari Pemerintah Kota Jambi melalui tim hukum sudah mengirim surat ke mereka agar melunasi kewajiban dan segera operasional,” kata Maulana kepada awak media pada 15 Juli 2025.
Namun, klaim ini tidak diikuti oleh langkah tegas di lapangan. Kontribusi tetap sebesar Rp41,1 miliar yang tercantum dalam neraca Pemkot masih bersifat akuntansi, bukan dana riil yang masuk ke kas daerah.
Sementara itu, penanganan kasus oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Jambi dinilai lamban. Setelah memeriksa sejumlah pejabat tinggi Pemkot, belum ada perkembangan signifikan. Saat dikonfirmasi, Kasi Pidsus Kejari Jambi, Sumarsono, hanya menyebut bahwa perkara masih dalam tahap penyelidikan.
“Masih dalam proses penyelidikan, lagi berproses, doakan saja,” ujar Sumarsono singkat, melalui pesan WhatsApp.
Red Flags Proyek JCC:
• Perubahan waktu kontrak dinilai tidak wajar dan membuka ruang kelonggaran bagi investor.
• Bangunan hanya 67,78% dari rencana, namun belum ada konsekuensi hukum atau finansial bagi pelaksana.
• Kontribusi keuangan PT BPI belum masuk kas daerah, hanya tercatat secara akuntansi.
• Addendum dibuat setelah temuan BPK, bukan langkah proaktif pemerintah.
• Proses hukum oleh Kejari Jambi jalan di tempat.
Kejanggalan demi kejanggalan dalam proyek JCC bukan sekadar persoalan administratif, melainkan menyentuh persoalan hukum dan akuntabilitas keuangan negara. Ketidaktegasan Pemkot Jambi dan lambannya Kejari Jambi membuka peluang tergerusnya potensi pendapatan daerah miliaran rupiah tanpa kepastian ganti rugi.
Sumber: https://vojnews.id/bpk-jambi-temukan-kejanggalan-addendum-proyek-jcc-ini-faktanya/2/