Jambi, 23 November 2025 – elangnusantara.com – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia resmi mengeluarkan aturan baru mengenai tata kelola Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Ketentuan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 18 Tahun 2025, sebagai tindak lanjut dari PP Nomor 39 Tahun 2025 yang merevisi PP Nomor 96 Tahun 2021. Regulasi ini ditandatangani pada 14 November 2025 di Jakarta.
Dalam Pasal 73 ayat (1), pemerintah menegaskan bahwa WPR merupakan bagian dari Wilayah Pertambangan (WP) provinsi. Gubernur dapat mengusulkan penetapan WPR hanya jika terdapat aktivitas penambangan masyarakat yang belum berizin, sekaligus memastikan kesesuaiannya dengan rencana WP provinsi.
Penetapan WPR juga wajib mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan, terutama keberadaan endapan teras, dataran banjir, hingga sungai purba. Selain itu, lokasi harus selaras dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) provinsi.
Regulasi ini membatasi pemanfaatan WPR pada mineral logam primer dengan kedalaman maksimal 100 meter, serta mineral sekunder di alur atau tepian sungai. Setiap blok WPR juga dibatasi dengan luas maksimal 100 hektare, dan keputusan final penetapannya berada di tangan Menteri ESDM setelah melalui proses evaluasi menyeluruh.
Setelah suatu WPR ditetapkan, gubernur diwajibkan menyusun dokumen pengelolaan WPR yang memuat sepuluh elemen utama, antara lain: peta dan koordinat wilayah, kondisi geologi dan tanah, kondisi perairan, rencana penambangan, perencanaan pengolahan, perhitungan biaya produksi, manajemen keselamatan, pengelolaan lingkungan, pedoman iuran pertambangan rakyat, serta rencana reklamasi dan pascatambang.
Dokumen tersebut harus dilengkapi dengan berbagai persetujuan teknis, seperti penggunaan kawasan hutan, rekomendasi Kementerian PUPR untuk wilayah di Daerah Aliran Sungai (DAS), serta persetujuan kesesuaian pemanfaatan ruang dari kementerian/lembaga atau pemerintah daerah. Setelah diverifikasi, dokumen akan ditetapkan oleh Menteri ESDM.
Permen ini juga menegaskan batasan luas IPR: 5 hektare untuk perorangan dan 10 hektare untuk koperasi. Seluruh pemegang IPR wajib memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) sesuai klasifikasi usaha pertambangan.
Dari aspek lingkungan, pemegang IPR diwajibkan membuka rekening jaminan reklamasi atas nama gubernur sebesar 10 persen dari setiap penjualan mineral. Dana ini hanya dapat dicairkan setelah seluruh kewajiban reklamasi dan pascatambang dipenuhi.
Selain itu, gubernur berwenang menunjuk BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta untuk mengelola proses pengolahan dan pemurnian mineral logam hasil kegiatan IPR. Pemegang IPR juga berkewajiban membayar iuran pertambangan rakyat serta pajak daerah untuk komoditas non-logam atau batuan. Seluruh iuran ini masuk dalam pendapatan daerah dan wajib digunakan untuk pengelolaan pertambangan rakyat sesuai ketentuan perundang-undangan.
Irwanda Ketua DPW PWDPI Provinsi Jambi menyambut baik hadirnya regulasi ini. Ia menyampaikan:
“Saya berharap regulasi ini benar-benar dimaksimalkan dalam implementasinya. Pengaturan WPR dan IPR yang lebih jelas akan membantu memastikan kegiatan pertambangan rakyat berjalan tertib, terarah, dan sesuai prosedur. Yang tidak kalah penting, aturan ini diharapkan mampu menjaga kelestarian lingkungan serta memberikan kepastian bagi pelaku usaha, agar pertambangan rakyat dapat memberikan manfaat ekonomi tanpa mengorbankan keberlanjutan alam.”











