Jambi – Pembangunan pagar Restoran Gudhas di Jalan Adam Malik, Kecamatan Jelutung, Kota Jambi, kembali menuai sorotan tajam. Restoran yang berada tepat di pinggir jalan Arteri Sekunder 1 (AS1) tersebut diduga melanggar sejumlah ketentuan tata ruang sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Wali Kota (Perwal) Jambi.
Pelanggaran tersebut terutama terkait bentuk, ukuran, serta jarak pagar yang terlalu menjorok ke badan jalan, sehingga mengganggu akses dan kenyamanan pengguna jalan. Temuan ini pertama kali diangkat oleh media Arah Negeri dan menjadi bahan audiensi publik pada 16 Januari 2025 di kantor Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kota Jambi.
Dalam audiensi itu, pihak Dinas PUPR Kota Jambi menegaskan bahwa pagar yang dibangun di wilayah Kota Jambi wajib mengikuti standar teknis yang berlaku: tinggi maksimal 60 cm dari tanah untuk bagian beton, dan tambahan 90 cm menggunakan material transparan seperti besi teralis guna tidak menghalangi pandangan pengguna jalan. Lebih jauh, Perda dan Perwal juga mewajibkan bangunan di pinggir jalan AS1 memiliki jarak bebas 20–25 meter dari badan jalan.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan pagar Restoran Gudhas justru melanggar keseluruhan ketentuan ini. “Restoran Gudhas melanggar aturan tata ruang yang berlaku di Kota Jambi, baik dari segi ukuran maupun material pagar yang tidak sesuai standar. Ini harus segera ditindaklanjuti untuk memastikan semua bangunan mematuhi aturan yang berlaku,” tegas salah satu pejabat Dinas PUPR dalam audiensi.
Pihak Dinas PUPR menyatakan telah mengirimkan surat peringatan resmi kepada pemilik restoran dan berkomitmen untuk melakukan pemotongan bagian pagar yang melanggar. Namun, pernyataan ini menuai tanda tanya besar setelah terungkap bahwa pihak PUPR juga telah menjatuhkan denda kepada pihak Restoran Gudhas, namun tanpa menyebutkan besaran nominalnya secara transparan ke publik.
“Ini tindakan yang mencederai hukum,” tegas Resmah Pasaribu, SH, Direktur Eksekutif Perkumpulan Elang Nusantara. “Bagaimana mungkin sebuah institusi pemerintahan menjatuhkan denda, namun tidak menyampaikan kepada publik dasar hukumnya, besarannya, dan ke mana uang itu disalurkan. Ini membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan. Kami khawatir, uang denda tersebut masuk ke kantong pribadi oknum tertentu.”
Lebih jauh, Resmah menegaskan bahwa persoalan ini sudah sampai ke telinga Wali Kota Jambi, Maulana, namun hingga saat ini belum ada tindakan konkret yang diambil oleh Pemerintah Kota Jambi. Padahal, massa dari Gerakan Bersama Rakyat Kampus (GBRK) bersama Perkumpulan Elang Nusantara telah menyuarakan kasus ini secara terbuka hingga ke kantor wali kota.
“Jangan sampai penguasa tunduk pada pengusaha. Apalagi bangunan restoran ini berdiri sangat dekat dengan jalan AS1 yang seharusnya memiliki sempadan 25 meter. Ini pelanggaran nyata terhadap tata ruang kota,” tegas Resmah.
Pihak Elang Nusantara dan GBRK mendesak agar kasus ini diusut secara menyeluruh dan menindak bangunan yang melanggar aturan tanpa pandang bulu. Mereka juga mendorong Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Inspektorat Daerah Kota Jambi untuk segera melakukan audit menyeluruh terhadap Dinas PUPR Kota Jambi.
“Kami ingin tahu, apakah benar PUPR punya kewenangan menjatuhkan denda sendiri, dan apakah uang denda itu masuk ke kas daerah atau justru ke kantong pribadi? Ini harus diungkap tuntas. Jangan ada kompromi terhadap pelanggaran hukum dan tata ruang di kota ini,” pungkas Resmah.
Kasus ini menjadi ujian serius terhadap komitmen Pemerintah Kota Jambi dalam menegakkan aturan dan membangun kota yang tertib, adil, serta berkelanjutan. Publik menunggu: apakah hukum akan ditegakkan, atau justru kalah oleh kepentingan segelintir elite?