Jambi, 25 Oktober 2025 elangnusantara.com — Keberadaan Wiltop Hotel dan Helen Mart kembali menjadi sorotan tajam dari Aliansi Pemerhati Tata Ruang Jambi. Aksi gabungan yang terdiri dari berbagai elemen—mahasiswa, aktivis, perkumpulan masyarakat, dan media—digelar di kawasan bantaran Sungai Batanghari, Jambi, pada Jumat (25/10).
Dalam aksi tersebut, para peserta bahkan menelusuri bagian bawah bangunan Wiltop Hotel dan Helen Mart yang diduga berdiri di atas aliran sungai dan berpotensi melanggar tata ruang serta aturan lingkungan. Dari hasil penelusuran, ditemukan sejumlah indikasi pembuangan limbah dan penyimpangan izin bangunan.
“Fakta-fakta ini mengungkap adanya pelanggaran nyata, tetapi jauh dari tindakan tegas penegak hukum. Kami mempertanyakan kemana arah limbahnya? Di mana penegak hukum? Apakah hukum tumpul kepada pengusaha nakal?” ujar Rio, koordinator lapangan aksi.
Menurutnya, kondisi tersebut mencerminkan adanya pembiaran dan sikap tutup mata dari pihak berwenang, karena bangunan yang dinilai menyalahi aturan tetap berdiri kokoh tanpa tindakan pembongkaran. “Masyarakat kecil selalu menjadi korban keganasan hukum, sementara pengusaha besar yang melanggar tata ruang hanya dikenai denda administrasi tanpa penindakan,” tambahnya.
Sementara itu, Amri, yang juga menjadi salah satu korlap aksi, menegaskan bahwa gerakan ini bukanlah bentuk anti-investasi, melainkan upaya menegakkan keadilan dan aturan yang berlaku. “Kami tidak anti terhadap investor atau pengusaha, tapi semuanya harus taat aturan. Kami sudah masuk ke bawah bangunan, dan hasilnya jelas—ada penyimpangan dari izin HGB yang diberikan,” tegasnya.
Amri juga mengingatkan bahwa aksi ini bukan yang pertama. Sebelumnya, Aliansi Pemerhati Tata Ruang Jambi telah menyoroti kasus serupa terkait pagar Gudhas Village, yang oleh Dinas PUPR Jambi dinyatakan tidak sesuai izin namun belum ada tindakan tegas. “Bukti-bukti ini akan kami bawa—mulai dari Gudhas Village, Wiltop Hotel, hingga Helen Mart. Kami akan terus menyuarakan ini untuk menguji integritas pemerintah dan penegak hukum. Jangan sampai hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah,” pungkasnya.
Menanggapi temuan tersebut, Risma Pasaribu SH, selaku Direktur Eksekutif Perkumpulan Elang Nusantara, menegaskan bahwa keberadaan bangunan hotel dan tempat hiburan di kawasan pinggiran Sungai Batanghari sejatinya tidak bisa berdiri tanpa melalui kajian lingkungan yang ketat.
“Berdasarkan ketentuan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta PP Nomor 22 Tahun 2021, setiap kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan wajib memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), sedangkan kegiatan dengan dampak lebih terbatas wajib memiliki UKL-UPL,” jelas Risma.
Ia menambahkan, dalam konteks Wiltop Hotel dan Helen Mart yang berdiri di kawasan sempadan sungai—zona yang dilindungi secara ekologis—kewajiban memiliki dokumen AMDAL menjadi mutlak, bukan sekadar formalitas administratif. Tanpa dokumen lingkungan yang sah, keberadaan bangunan di tepi sungai tidak hanya melanggar aturan tata ruang, tetapi juga mengancam keseimbangan ekosistem Sungai Batanghari.
“Dampak seperti pembuangan limbah, penutupan aliran air, hingga penurunan kualitas lingkungan sekitar menjadi risiko nyata. Secara hukum, pelanggaran terhadap kewajiban AMDAL atau UKL-UPL dapat berimplikasi serius, termasuk pembatalan izin usaha dan ancaman pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 109 UU 32/2009. Karena itu, pemerintah dan penegak hukum seharusnya tidak menutup mata terhadap aktivitas yang jelas-jelas berada di kawasan sensitif lingkungan ini,” tegas Risma.
Aliansi berencana menyerahkan hasil investigasi lapangan beserta bukti visual kepada instansi terkait, termasuk Dinas Lingkungan Hidup dan Kepolisian, sebagai langkah dorongan agar penegakan hukum berjalan sesuai prinsip keadilan lingkungan.











